Siapa yang tak kenal kisah Romeo dan Juliet. Ini kisah tragedi komunikasi karya William Shakespeare yang tak lekang oleh waktu. Awalnya dibuat berdasarkan cerita di Italia, lalu tahun 1562 diubah jadi sajak dalam The Tragical History of Romeus and Juliet oleh Arthur Brooke. Kemudian diceritakan kembali dalam Palace of Pleasure karya William Painter tahun 1582 dan menjadi hits di seluruh dunia. Perspektif komunikasi mengatakan bahwa Romeo Juliet gagal mencapai tujuan karena faktor komunikasi yang salah!
Mengapa disebut sebagai tragedi komunikasi? Karena awalnya, Juliet samasekali tidak berencana nekad bunuh diri. Ia hanya ingin minum obat yang akan membuatnya koma sementara, bukan bunuh diri. Rencananya, Friar – yang ingin kedua keluarga melakukan rekonsiliasi – berjanji akan mengirim pesan mengenai skenario ”bunuh diri pura-pura” ini kepada Romeo. Jadi mereka dapat bertemu kembali setelah Juliet terbangun.
Sialnya Friar – sang pembawa pesan – tidak berhasil bertemu Romeo. Malah Romeo mendapat informasi yang salah bahwa Juliet telah meninggal dunia! Patah hati karena tak menyangka Juliet tega meninggalkannya, akhirnya Romeo minum racun. Saat Juliet terbangun dan melihat Romeo meregang nyawa, ia memutuskan bunuh diri dengan pisau. Inilah contoh klasik miscommunication yang berujung pada maut.
Nah, miscommunication juga sering terjadi di banyak perusahaan. Berdasarkan observasi kami, 70% masalah di kantor disebabkan oleh misscommunication. Baik di level corporate, antar department, maunpun di level antar individu. Tidak aneh kalau apa yang dimaksudkan dan diinginkan oleh manajemen puncak seringkali diterjemahkan secara berbeda di level operasional.
Baru-baru ini kami menangani masalah yang disebabkan oleh miscommunication di salah satu perusahaan besar. Seperti biasa, manajemen puncak selalu berfokus pada pencapaian target perusahaan dan mengharapkan lapisan dibawahnya juga mempunyai tujuan yang sama. Mereka ingin agar karyawan lebih peduli terhadap kemajuan perusahaan dan berusaha berkontribusi lebih kepada keuntungan perusahaan.
Sayangnya karena komunikasi internal yang kurang tepat, di lapisan bawah justru terjadi keresahan. Sebelum saat pulang (jam 5 sore), para karyawan sudah pada antri di depan mesin absensi. Jarang ada yang berusaha berkontribusi lebih, misalnya dengan menghabiskan lebih bayak waktu bekerja di kantor. Ketika ditanya mengapa, mereka memberikan jawaban yang mungkin anda sering dengar. “Teng-Go”. Maksudnya sudah saatnya pulang, ngapain lama-lama di kantor. Nggak bakal dibayar lebih deh. Rupanya kalau pulang lebih larut, dianggap hanya buang-buang waktu dan dijadikan “sapi perah”. Wah apa yang sedang terjadi ?
Manajemen puncak perusahaan ini – yang banyak terdiri dari ekspat – pun terheran-heran dengan fenomena ini. Kok para karyawan sudah antri ingin clock-out sebelum jam pulang berakhir? Akhirnya kami dipanggil untuk menemukan akar masalahnya. Ternyata…
Ternyata telah terjadi miscommunication antara manajamen dengan karyawannya.
Dalam sebuah Focus Group Discusssion, ada pegawai yang menyampaikan unek-uneknya: “ Mau meningkatkan kinerja perusahaan? Pulang lebih malam? Ini ibaratnya seperti mendorong mobil yang mogok. Kami diminta untuk mendorongnya rame-rame. Namun kalau mobilnya sudah jalan apakah kami juga diajak masuk? Kami kawatir kalau ujung-ujungnya malah ditinggal begitu saja….”.
” Mereka enak duduk di mobil ber-AC yang sudah jalan, kami hanya menghirup bau knalpot-nya saja….”, wakil dari karyawan menimpali. Tragis kalau pegawai sampai berkata begitu. Kalau dibiarkan terus menerus, ujung-ujungnya perusahaan bakal bisa menyerempet maut, seperti tragedi komunikasi Romeo Juliet diatas.
Susahnya, ruang untuk berkomunikasi juga terbatas dan sering salah pendekatan. Jarang bahkan hampir tidak pernah perusahaan berdialog dengan internal customers-nya sendiri. Pemimpin puncak lebih giat mencari customer insight, tetapi lupa menggali employee insight. Mungkin karena dilandasi pemikiran bahwa mengejar customer insight lebih cepat mendatangkan fulus bagi perusahaan, sedangkan menggali employee insight hanya akan menambah cost dan beban pikiran bagi perusahaan.
Pemimpin puncak karenanya juga lebih sibuk mencoba tampil di depan publik ekternal dengan mengkomunikasikan betapa bonafidnya perusahaan tersebut, dengan fakta, data dan angka-angka profit. Juga mengkomunikasikan kepada publik seakan-akan perusahaan sangat peduli dengan lingkungan sekitarnya dalam bentuk CSR (Corporate Social Responsibility). Pemimpin puncak tidak sungkan-sungkan mengeluarkan biaya yang besar dalam berpartisipasi di kegiatan tersebut, namun pelit mengeluarkan investasi untuk meningkatkan komunikasi dengan pegawainya sendiri. …
Bisa ditebak akan terjadilah rumor-rumor yang meresahkan dan mengganggu produktifitas kerja. Ujung-ujungnya jelas akan mengganggu pelayanan kepada konsumen. Kalau konsumen tidak puas, mana ada yang bersedia membeli produk/jasa perusahaan! Akibatnya dalam jangka panjang tentunya mempengaruhi profitabilitas.
Hal diatas bukan hanya terjadi di satu perusahaan. Kasus nyata ini juga terjadi di salah satu bank yang sudah di-komplain oleh banyak nasabahnya. Untungnya tahun ini bank tersebut sadar dan mulai bergerak. Mereka mulai mencari tahu mengapa komplain itu terjadi dengan cara memanggil konsultan. Hasil akhir menunjukkan bahwa komplain nasabah dimulai dari pegawai yang tidak puas dan merasa tidak didengar oleh manajemen. Masalah klasik komunikasi internal…!!
Riset pengaruh komunikasi internal terhadap efisiensi kerja karyawan pernah dilakukan di PT. Perkebunan Nusantara III Medan. Berdasarkan riset tersebut didapat pengaruh komunikasi internal terhadap efisiensi kerja karyawan, yakni sebesar 73,6%. Wow, suatu angka yang cukup signifikan. Ini berarti jikalau komunikasi internal ditingkatkan, efisiensi kerja karyawan juga akan meningkat secara signifikan.
Bagaimana mencegah miskomunikasi sebelum parah? Simak pemaparannya pada edisi berikut…
Penulis :
Daniel Saputro, MM., MBA.
Senior Corporate Advisor
Daniel Saputro dan tim BusinessBuddy Int memiliki pengalaman 21 tahun dalam perbaikan kinerja perusahaan. Kami aktif memberikan pembekalan maupun konsultasi terutama di bidang transformasi dan manajemen perubahan di 4 area yakni: Business Model (termasuk Balanced Scorecard dan Strategy Map) – People Development – Process – Culture Internalization, yang mengarah ke Auto Pilot System.
Nuqul Group (Yordania) dan Banpu (Thailand) adalah contoh perusahaan internasional yang telah menggunakan jasa konsultasinya. Di dalam negeri, Daniel menjadi konsultan bagi banyak perusahaan maupun institusi pemerintah. Di antaranya Jamsostek, Bea Cukai, Sekretariat DPR, Jasa Sarana BUMD Jabara, BioFarma Bandung, Kementerian Keuangan PUSINTEK, Pertamina, LPP BUMN di Jogja dan BTN.
Perusahaan swasta nasional sering menunjuk Daniel sebagai konsultan. Sebut saja Indocement, Triputra, Bosowa (Makasar), Tunas Ridean Group, MusimMas (Medan), Capella (Medan), CPSSoft, ILP, Darya Varia, KPUC (Samarinda), Medifarma, Prafa. Indospring (Surabaya) dan Acer (Jakarta) , Infomedia dan Sentul City. Beliau juga aktif memberikan pelatihan di Chevron, Astra, Commonwealth Bank, TOTAL EP, Holcim dan banyak lainnya
Di sisi lain, Daniel Saputro juga memiliki minat yang besar terhadap dunia pendidikan. Karena itu, kini, dia aktif menjadi fasilitator MiniMBA serta pengajar mata kuliah bisnis dan pemasaran di program S2. Daniel juga menggunakan tulisan sebagai sarana untuk membagikan ilmunya. Ia menjadi kontributor untuk Tabloid KONTAN, Swa, dan Jakarta Post.
Untuk Family Business, kami membantu suksesi dan transformasi menuju perusahaan yang lebih professional. Dengan cara membentuk Leadership yang profesional dan menggunakan KPI berbasis balanced Scorecard.