Sejarah mencatat pada November 2005, Independence Air (Amerika) yang menganut strategi harga murah menyatakan dirinya bangkrut. Asetnya masih senilai 378 juta USD, tetapi hutangnya sudah 455 juta USD. Saat itu hanya ada 24 juta USD di kas perusahaan, sehingga tidak mampu lagi membiayai kegiataan operasional. Indepence Air yang berdiri sejak 1989 terpaksa merumahkan 3200 pegawainya. Perusahaan penerbangan ini mengikuti jejak korban sebelumnya – yang juga menerapkan strategi harga murah – dan duluan kandas seperti Delta Air, Northwest dan United Airlines.
Di Indonesia, strategi harga murah juga menelan korban. Tidak punya dana operasi sehingga menghentikan operasi juga terjadi pada Mandala Airlines. Di 2010, Mandala mencoba merubah strategi bisnisnya dengan mengandalkan strategi harga murah. Perusahaan yang dulunya pernah dimiliki Kostrad ini, bahkan pernah menawarkan tiket yang teramat murah: Jakarta – Singapore hanya IDR 77.000 saja! Memang banyak calon penumpang yang tergiur dengan harga tiket murah ini. Pembeli tiket Mandala melonjak hebat. Di mal-mall terlihat antrian yang mengular. Kelihatannya saja banyak pembeli namun toh akhirnya tidak mampu mengejar dan menutupi hutangnya yang membengkak sampai 800 miliar….Mandala kandas juga seperti para pendahulunya.
Padahal ada juga perusahaan yang sukses dengan strategi ini. Lihat saja Air Asia yang sekarang merupakan jawara penerbangan bertiket murah. Awalnya Air Asia hanya punya 2 pesawat dan merugi selama 5 tahun. Baru setelah dibeli oleh Tony Fernandes dan menggunakan strategi harga murah, Air Asia mampu melejit dan terbang tinggi. Yang menakjubkan, sebelumnya Tony Fernandes sendiri tidak punya jam terbang yang tinggi di industri penerbangan. Sekarang jumlah pesawat Air Asia sudah melebihi 100. Tujuan penerbangan juga bertambah, bahkan mencapai Christcurch di Selandia Baru. Segmen yang dilayani terutama adalah mereka yang peka terhadap harga. Termasuk lapisan masyarakat yang belum pernah menggunakan transportasi udara.
Mengapa ada perusahaan yang sukses namun ada juga yang gagal menerapkan strategi harga murah?
Mari kita telisik lebih jauh. Untuk memenangkan pertempuran bisnis, maka setiap perusahaan wajib memiliki strategi bertempur yang disesuaikan dengan kompetensi inti. Di 1980an, Robert Waterman bersama Tom Peters dan Julien Philips – dalam artikel “Structure is not Organisation” – menegaskan bahwa strategi memegang peranan penting dalam kesuksesan suatu bisnis.
Michael Porter sang mbah-nya manajemen strategi memperjelasnya, dengan menyebutkan ada 3 strategi untuk memenangkan pertempuran bisnis: strategi biaya rendah, diferensiasi dan fokus.
Strategi biaya rendah inilah yang menjadi landasan bagi harga murah. Namun Michael Treacy dan Fred Wiersema (1993) lebih suka menggunakan istilah: operational excellence. Serupa tetapi tak sama. Perusahaan yang mau sukses menganut strategi ini seharusnya mengutamakan kombinasi dari efisiensi, produktifitas dan efektifitas. Ditambah dengan operasi yang ramping dan berbiaya rendah. Juga harus menggunakan supply chain management, tanpa tambahan asesoris dan harus mencapai skala ekonomi tertentu. Unsur pelayanan terhadap konsumennya cukup yang standard saja dan tidak perlu terlalu wah. Kultur organisasinya jelas harus berbeda, yakni berfokus kepada proses yang efisien dan kerjasama tim yang disiplin.
Jangan lupa bahwa penganut strategi ini mengharuskan pegawainya untuk bekerja multitasking. Satu orang harus bersedia menangani banyak pekerjaan, sehingga biaya produksi dapat ditekan. Karenanya tidaklah mengherankan kalau pegawai di perusahaan yang menerapkan strategi ini, diharuskan menangani pekerjaan dari A sampai Z, walau gajinya biasa-biasa saja. Nah itulah rahasia suksesnya….
Coba kita lihat cara kerja Air Asia. Kultur yang dibangun adalah: efisiensi, dan dimulai dari level yang paling atas. Tengok saja ruang kerja Tony Fernandes yang mungil, mungkin yang terkecil dan tentunya paling hemat antara seluruh maskapai di dunia. Tak heran yang dibawahnya juga nurut, misalnya pramugari Air Asia juga tangkas berfungsi sebagai cleaning service. Fast ground turn around juga diterapkan Air Asia dengan benar. Mereka disiplin mengikuti pedoman sukses strategi operational excellence.
Namun jangan langsung tergiur akan kisah sukses ini. Sejatinya strategi harga murah ini juga rentan terhadap kegagalan apalagi jika tidak memperhatikan faktor:
Pertama, strategi biaya murah sebenarnya juga butuh dana besar diawal. Perlu investasi IT dan infrastuktur yang diharapkan akan mendorong efisiensi dan produktifitas. Karenanya perusahaan yang ingin menerapkan strategi ini harus punya ”napas panjang” jika ingin selamat. Para pemegang saham juga harus sadar dan berani investasi besar di awal. Masalahnya banyak pemegang saham yang setengah hati, jadi akibatnya malah rontok di tengah jalan.
Kedua, waktu transisi yang lumayan panjang. Perubahan strategi juga perlu waktu untuk kesiapan sistem, struktur organisasi dan mental pegawai. Jikalau pegawai tidak siap bekerja A to Z, maka mereka tidak bekerja dari hati. Hanya sekedar menjalankan rutinitas. Hal ini akan berdampak pada ”body languange” mereka saat berhadapan dengan konsumen. Jelas konsumen akan membaca ”keengganan melayani ” dari pegawai yang tampil cemberut dan pelit senyum.
Ketiga, harus ada komitmen dari pucuk pimpinan atas agar menunjukkan budaya efisien. Para pegawaipun harus dilatih agar bekerja secara efisien dan harus mampu melakukan beberapa pekerjaan sekaligus. Disini masalahnya muncul….pegawai yang sudah terbiasa bekerja di strategi pelayanan medium akan kesulitan beradaptasi jika bekerja di lingkungan strategi biaya murah. Mereka tidak terbiasa multi tasking. Pasti ada pegawai yang kedodoran dan ngomel-ngomel dibelakang layar.
Keempat, terlalu fokus ke pengurangan biaya dapat menyebabkan pelanggan merasa kecewa. Pelanggan memang mengharapkan harga murah, tetapi harus dibarengin juga dengan pelayanan atau manfaat yang masih berada di ambang batas kewajaran. Jika pelayanan atau manfaat ini diturunkan lagi, mereka malah akan kecewa.
Lessons to learn. Strategi harga murah butuh komitmen yang kuat dari pucuk pimpinan perusahaan dan pemegang saham. Sudah banyak jatuh korban karena salah kaprah dalam penerapannya. Semoga dengan mencermati faktor penyebab kegagalan diatas, perusahaan anda bukan korban yang berikutnya…
Penulis :
Daniel Saputro, MM., MBA.
Senior Corporate Advisor
Daniel Saputro dan tim BusinessBuddy Int memiliki pengalaman 21 tahun dalam perbaikan kinerja perusahaan. Kami aktif memberikan pembekalan maupun konsultasi terutama di bidang transformasi dan manajemen perubahan di 4 area yakni: Business Model (termasuk Balanced Scorecard dan Strategy Map) – People Development – Process – Culture Internalization, yang mengarah ke Auto Pilot System.
Nuqul Group (Yordania) dan Banpu (Thailand) adalah contoh perusahaan internasional yang telah menggunakan jasa konsultasinya. Di dalam negeri, Daniel menjadi konsultan bagi banyak perusahaan maupun institusi pemerintah. Di antaranya Jamsostek, Bea Cukai, Sekretariat DPR, Jasa Sarana BUMD Jabara, BioFarma Bandung, Kementerian Keuangan PUSINTEK, Pertamina, LPP BUMN di Jogja dan BTN.
Perusahaan swasta nasional sering menunjuk Daniel sebagai konsultan. Sebut saja Indocement, Triputra, Bosowa (Makasar), Tunas Ridean Group, MusimMas (Medan), Capella (Medan), CPSSoft, ILP, Darya Varia, KPUC (Samarinda), Medifarma, Prafa. Indospring (Surabaya) dan Acer (Jakarta) , Infomedia dan Sentul City. Beliau juga aktif memberikan pelatihan di Chevron, Astra, Commonwealth Bank, TOTAL EP, Holcim dan banyak lainnya
Di sisi lain, Daniel Saputro juga memiliki minat yang besar terhadap dunia pendidikan. Karena itu, kini, dia aktif menjadi fasilitator MiniMBA serta pengajar mata kuliah bisnis dan pemasaran di program S2. Daniel juga menggunakan tulisan sebagai sarana untuk membagikan ilmunya. Ia menjadi kontributor untuk Tabloid KONTAN, Swa, dan Jakarta Post.
Untuk Family Business, kami membantu suksesi dan transformasi menuju perusahaan yang lebih professional. Dengan cara membentuk Leadership yang profesional dan menggunakan KPI berbasis balanced Scorecard.