Alexander Agung adalah salah satu pemimpin terbesar dalam sejarah. Daerah taklukannya membentang dari Yunani sampai ke ke Himalaya India. Ingin bukti? Di India ada kota Bucephala yang didirikan sebagai kenangan akan kudanya – Bucephalus – yang meninggal di kota itu. Kepemimpinannya yang besar juga nyata membantunya menghancurkan Persia, pasukan terbesar pada zaman itu. Meskipun Alexander menaklukkan banyak kerajaan, namun kerajaannya sendiri tidak bertahan lama. Begitu ia meninggal, seluruh kerajaannya segera pecah. Apalagi ia-nya tidak mempersiapkan penerus. Hilangnya faktor kepemimpinan ini menyebabkan pasukannya langsung tercerai berai.
Leadership di bisnis. Nah, perang di dunia bisnis juga perlu kepemimpinan. McKinsey tampil dengan faktor Style dalam 7S nya untuk memperkenalkan pentingnya unsur kepemimpinan. Hal yang sama juga dipertegas oleh David G Thomson dalam The 7 Essentials of High Growth Companies. Ia bahkan menambahkan rumus baru yakni: Apply inside-outside leadership to the entire management team. Artinya terapkan duo kepemimpinan terpadu, satu yang menghadapi pihak eksternal, (pasar, pelanggan, aliansi, dan masyarakat) sementara lainnya menangani operasi internal. Jadi bakat yang terdapat pada manajemen saling melengkapi satu sama lain. Karenanya perusahaan bisa mengatasi tantangan yang terjadi di internal maupun eksternal. Semuanya ditangani dengan baik. Contohnya bisa ditemukan di Microsoft (Bill Gates dan Steve Balmer) dan Apple (dulunya Steve Jobs dan Tim Cooks). Mereka ibaratnya seperti pasangan Batman dan Robin.
Topik pelatihan kepemimpinan karenanya jadi laris manis. Banyak perusahaan mengirimkan orang-orangnya agar dengan instant bisa mendapatkan ilmu kepemimpinan yang “baik”. Yang “baik”? Ya, karena kebanyakan mengajarkan bagaimana menjadi pemimpin yang dinilai “baik” oleh bawahannya sehingga mampu mempengaruhi mereka. Ingat kata bapaknya Leadership – Dr. John C. Maxwell: “Leadership Is Influence: Nothing More, Nothing Less. “. Masalahnya, apakah itu cukup?
Leadership harusnya ”baik dan benar”. Sayangnya, dalam perang bisnis yang makin kejam ini, kepemimpinan yang ”baik” tidaklah cukup. Tidak cukup hanya membuat pengikut setia dan mau mengikuti petunjuk pemimpinnya. Kepemimpinan yang ”baik” itu harus diimbangi dengan kepemimpinan yang ”benar”, dalam arti harus bisa mencapai tujuan perusahaan. Percuma bila kepemimpinan hanya membuat bawahan senang, tetapi perusahaan menderita kerugian. Artinya harus ada kontribusi kepemimpinan yang bisa diukur terhadap organisasi dan pemegang saham.
Keyakinan ini awalnya mendapatkan pembenaran dari ”mbah”nya manajemen, Peter F Drucker melalui wasiatnya – Management by Objectives (MBO) – di 1954 dalam buku The Practice of Management. Intinya setiap individu dalam organisasi harus bergerak bersama mencapai tujuan yang terukur. Ini tentunya membutuhkan kepemimpinan yang ”benar”. Beliau juga memperkenalkan isitilah baru – yang sampai sekarang masih dipakai – yakni S.M.A.R.T. Singkatan dari Specific, Measurable, Agreed, Realistic dan Time related. Perhatikan adanya kata-kata measurable di S.M.A.R.T. Artinya kalau mau maju, ya harus bisa diukur. ”What gets measured gets done”, pesan Drucker.
Semuanya ini semakin dipertajam saat Balanced Scorecard (BSC) dengan 4 perspectivenya merasuki cara manajemen puncak mengelola organisasi. BSC yang menyeimbangkan peran financial dengan peran lainnya (customer-internal process-learning growth) memang punya unsur magis yang tinggi. Karenanya mulai timbul gelombang pemikiran akan pentingnya kuantifikasi kepemimpinan yang seimbang.
Bagaimana mengukur kepemimpinan yang seimbang? Emmett Murphy pernah mencobanya dalam Leadership Intelegence Quotient (LIQ). Selama 6 tahun, ia mempelajari 18.000 manajer di 562 organisasi besar dan kecil di hampir semua jenis industri. Baik di Amerika Serikat maupun di seluruh dunia. Diidentifikasi lebih dari 1.000 individu yang menunjukkan kemampuan kepemimpinan luar biasa. Lalu Murphy mengisolasi ciri khas kepemimpinan itu. Diklaim hasil penelitiannya diuji coba di GM, AT & T, IBM, McDonald, Johnson & Johnson, Xerox, dan Chase Manhattan. Walau dilaporkan berhasil baik, namun LIQ masih belum terkoneksi dengan BSC.
Jawaban yang lebih pas dari pertanyaan diatas, muncul dari Dave Ulrich, Jack Zenger dan Norman Smallwood dalam Results-based Leadership. Disebutkan bahwa kepemimpinan yang efektif sebenarnya adalah hasil kali antara attribute kepemimpinan (seperti karakter, gaya, nilai dan seterusnya) dengan hasil yang dicapai. Ada 4 parameter hasil yang seharusnya diukur yakni: hasil bagi pegawai (employee results), hasil bagi organisasi (organization results) , hasil bagi pelanggan (customer results) dan hasil bagi investor (investor results). Penulis menyebutnya sebagai Balanced Leadership Scorecard.
Apa saja yang diukur pada employee results? Banyak, misalnya: fungsi pemberdaya (seperti penciptaan lebih banyak pemimpin dan mendorong inovasi) , fungsi panutan, dan trust. ”Leadership is about managing people, not structure, “ kata Robby Johan saat membenahi Garuda Indonesia. Bagaimana dengan penciptaan Entrepreneurship Skills? Penulis mengusulkan agar istilahnya diganti saja menjadi Intrapreneurship, yang berarti berjiwa entrepreneur namun tetap di dalam (intra) perusahaan. Berbahaya kalau tetap menggunakan istilah Entrepreneurship. Dikawatirkan profesionalnya pada keluar dan menjadi pesaing baru.
Pengukuran fungsi pensinergi (contohnya penyelarasan antar departemen) dan fungsi pendobrak (misalnya mendorong perubahan bergerak maju , clearness, dan menangani kompleksitas bisnis) patut dipertimbangkan pada organization results.
Tentunya pengukuran fungsi eksekusi yang berdampak terhadap pelanggan (seperti co-creation dengan customer dan peningkatan customer intimacy) pantas dimasukkan dalam customer results. Garuda di 1998, penerbangannya sering terlambat. Jelas konsumen pada kecewa. Ketepatan waktu penerbangan (on time performance/OTP) Garuda hanya sekitar 80-an persen, sementara rata-rata industri di atas 90%. Maka dibuat target mencapai OTP di atas 90% dan hasilnya? Berhasil mencapai 94%!
Lalu apa yang akan diukur pada investor results? Gampang. Cukup G.L.E.P (yakni Growth, Liquidity, Efficiency dan Profitability), kata Rodolfo Balmater – pakar keuangan dan mantan Ernst & Young – kolega penulis di NACD (National Associations of Commissioners and Directors). Penulis sendiri ingin menambahkan satu faktor lagi yakni: Contribution to Society agar makin sustainable. Bagaimana pendapat anda? Lessons Learned. Kepemimpinan tidak cukup mengandalkan faktor ”baik”. Harus ditambahkan faktor ”benar” sehingga seimbang. Kepemimpinan juga sebaiknya bisa diukur agar bisa disempurnakan. Tantangan berikutnya adalah: bagaimana memasukkan unsur Balanced Leadership Scorecard ini kedalam KPI Individu? Bagaimana pembobotannya? Ada saran?
Penulis :
Daniel Saputro, MM., MBA.
Senior Corporate Advisor
Daniel Saputro dan tim BusinessBuddy Int memiliki pengalaman 21 tahun dalam perbaikan kinerja perusahaan. Kami aktif memberikan pembekalan maupun konsultasi terutama di bidang transformasi dan manajemen perubahan di 4 area yakni: Business Model (termasuk Balanced Scorecard dan Strategy Map) – People Development – Process – Culture Internalization, yang mengarah ke Auto Pilot System.
Nuqul Group (Yordania) dan Banpu (Thailand) adalah contoh perusahaan internasional yang telah menggunakan jasa konsultasinya. Di dalam negeri, Daniel menjadi konsultan bagi banyak perusahaan maupun institusi pemerintah. Di antaranya Jamsostek, Bea Cukai, Sekretariat DPR, Jasa Sarana BUMD Jabara, BioFarma Bandung, Kementerian Keuangan PUSINTEK, Pertamina, LPP BUMN di Jogja dan BTN.
Perusahaan swasta nasional sering menunjuk Daniel sebagai konsultan. Sebut saja Indocement, Triputra, Bosowa (Makasar), Tunas Ridean Group, MusimMas (Medan), Capella (Medan), CPSSoft, ILP, Darya Varia, KPUC (Samarinda), Medifarma, Prafa. Indospring (Surabaya) dan Acer (Jakarta) , Infomedia dan Sentul City. Beliau juga aktif memberikan pelatihan di Chevron, Astra, Commonwealth Bank, TOTAL EP, Holcim dan banyak lainnya
Di sisi lain, Daniel Saputro juga memiliki minat yang besar terhadap dunia pendidikan. Karena itu, kini, dia aktif menjadi fasilitator MiniMBA serta pengajar mata kuliah bisnis dan pemasaran di program S2. Daniel juga menggunakan tulisan sebagai sarana untuk membagikan ilmunya. Ia menjadi kontributor untuk Tabloid KONTAN, Swa, dan Jakarta Post.Untuk Family Business, kami membantu suksesi dan transformasi menuju perusahaan yang lebih professional. Dengan cara membentuk Leadership yang profesional dan menggunakan KPI berbasis balanced Scorecard.