Perlukah Good Corporate Governance (GCG) ?

Print Friendly, PDF & Email

Dahulu, sebuah perusahaan didirikan dengan tujuan agar mendapatkan keuntungan sebesar besarnya. Bahkan ada prinsip ekonomi yang mengatakan: berusahalah dengan modal sekecil-kecilnyanya untuk memperoleh keuntungan sebesarnya. Sayangnya prinsip ini banyak disalah artikan. Keruklah keuntungan sebesar-besarnya, kalau perlu tanpa modal! Ditambah lagi dengan semangat work smart yang membabi-buta – jangan hanya work hard – makin komplitlah akal-akalan segelintir pebisnis nakal. Sudah banyak contohnya baik di luar negeri maupun di Indonesia.

Di luar negeri, kasus Enron adalah contoh klasik. Enron adalah perusahaan yang awalnya sangat bagus dengan profitabilitas yang menggiurkan. Namun karena serakah, Enron menggunakan beberapa praktek akunting rumit. Jadi mampu menyembunyikan utang bernilai ratusan juta dari pembukuannya. Eksekutif Enron dengan sengaja membuat catatan pendapatan fiktif, melipatgandakannya hingga terlihat luar biasa besar. Tujuannya jelas, agar para eksekutif ini mendapatkan gaji plus bonus besar. Ketika akhirnya penipuan ini terungkap, Enron meninggalkan hutang hampir sebesar US$ 31.2 milyar. Akibatnya saham Enron langsung terjun bebas dari US$ 90  jadi  70 sen.

Akuntan Publik Arthur Andersen juga diduga keras melakukan praktek bad corporate governance. Dulunya merupakan “The Big Five” yang terdiri dari Price Waterhouse Coopers, Deloitte & Touché, KPMC, Ernest & Young dan Anderson sendiri. Saat mengaudit Enron Corp, ternyata Laporan Keuangan maupun Akunting penuh dengan kecurangan, penyamaran data dan sarat dengan pelanggaran etika profesi. Diduga besarnya jumlah consulting fees yang diterimanya,  menyebabkan Arthur Andersen  bersedia “main mata”  terhadap temuan auditnya. Selain itu, Arthur Andersen juga memusnahkan dokumen pada periode sejak kasus Enron mulai mencuat ke permukaan, sampai dengan munculnya panggilan pengadilan. Banyak klien yang ketakutan dan memutuskan hubungan dengan Andersen. Akhirnya Arthur Andersen pun kolaps.

Dalam beberapa kasus, ternyata tekanan dari boss dapat menyebabkan seseorang terpaksa melakukan hal-hal yang melanggar GCG. Pendiri sekaligus CEO HealthSouth yakni Richard Scrushy menginstruksikan para karyawan untuk menggelembungkan pemasukan dan pendapatan bersih perusahaan! Adalah CFOnya sendiri – William Owens yang  bersedia bekerjasama dengan FBI – merekam pembicaraan Scrushy yang memerintahkan penggelapan ini. Kelicikan ini akhirnya terungkap di 2003 ketika ditemukan bahwa HealthSouth menggelembungkan pemasukan hingga US$ 1,4 miliar. Efeknya, harga saham HealthSouth langsung terjerembab dari US$ 20 menjadi 45 sen dalam sehari!

Jangan lupakan keruntuhan ekonomi dunia di tahun 2008 juga disebabkan praktek yang bertentangan dengan GCG. Lehman Brothers – yang sudah berdiri 150 tahun dengan penjualan sebesar US$ 6,155 juta dan laba bersih US$ 975 juta (2002) – tergoda dan tamak untuk bermain di pasar subprime yang penuh resiko. Agunan properti  dianggap instrumen investasi yang likuid dan memiliki risiko kecil.  Bisa jadi BOD terobsesi harapan mendapatkan bonus besar pada akhir tahun, jadinya berpikir bahwa semakin besar aset yang dikendalikan, semakin tinggi kemungkinan memperoleh return. Adanya target jangka pendek yang dikejar oleh direksi, membuat pengambilan keputusan tidak lagi memikirkan kepentingan investor.  Terlihat bahwa Lehman Brothers berinvestasi pada instrumen yang sangat berisiko, tanpa melakukan penilaian risiko secara menyeluruh. Akibatnya ? Lehman Brothers bangkrut dengan meninggalkan hutang US$ 613 milyar (5 kali lipat  APBN Indonesia).

Bagaimana dengan Indonesia. Masih ingat kasus bank Duta yang dipelesetkan menjadi Bank Dusta? Bank Duta (1990) mengalami kerugian US$420 juta karena terlalu percaya pada pejabat kunci. Transaksi valas yang dilakukan oleh direktur tidak melalui proses otorisasi semestinya. Yang bersangkutan melaksanakan transaksi  untuk 2 pihak secara bersamaan: untuk Bank dan untuk kepentingan sendiri. Jika transaksi menguntungkan, dilakukan pencatatan terhadap rekening pribadi. Namun jika merugikan akan dicatat sebagai transaksi yang dilakukan Bank. Disini terlihat tanpa kontrol yang memadai, seorang direktur pun tergoda melakukan perilaku yang melawan GCG.

Penyakit yang bertentangan dengan GCG kelihatannya tidak hanya terjadi di institusi perbankan. Ada juga yang terjadi di industri lainnya, misalnya di properti. Sebut saja PT Megapolitan  yang membangun kawasan Urbana Karawaci. Walau proyek pertama terkesan tidak diselesaikan dengan baik, namun disebutkan dibanyak media bahwa sudah merencanakan  akan memulai pembangunan proyek kedua  (satu tower sebanyak dengan 308 unit).  Masalahnya saat penjualan proyek pertama, pembeli sudah menyetorkan uang namun ada tower yang sampai sekarang belum diserahterimakan, padahal sudah terlambat jauh dari target.  Jikalau ditanyakan kepada orang di lokasi, ternyata jawabannya selalu berubah. Dan rata-rata staf yang ditemui mengaku pegawai baru. Lalu saat datang beberapa bulan kemudian, personilnya sudah berganti lagi. Dimanakah direktur yang bertanggung jawab atas masalah ini? Tidak terlihat transparansi, akuntabilitas dan responsibility tentang apa yang sedang terjadi. Dikawatirkan jikalau dibiarkan, akan ada pembeli yang kecewa lagi. Perusahaan hanya mengharapkan pembeli menyetorkan uang, tetapi mengelak ketika ditanyakan tanggung jawabnya.  Layanan yang mengesankan tidak didapat, tetapi justru yang muncul adalah layanan yang mengesalkan.

Terlihat pada contoh-contoh diatas, banyak perusahaan yang hanya mengejar keuntungan sesaat. Jadi HASIL merupakan tujuan utama, sedangkan CARA mencapainya tidaklah diperhatikan. Karenanya, keuntungan sebesar-besarnya perlu diimbangi dengan penerapan GCG. Pertanyaan menggelitik selanjutnya adalah: Pentingkah penerapan GCG di lingkungan family business? Bukankah dengan cara yang begini-begini saja sudah mampu menyekolahkan anak ke luar negeri, memberi kesejahteraan kepada pegawai. Buat apa mikirin yang susah-susah? Bagaimana pendapat anda?

Penulis  :

Daniel Saputro, MM., MBA.

Senior Corporate Advisor

Daniel Saputro dan tim BusinessBuddy Int memiliki pengalaman 21 tahun dalam perbaikan kinerja perusahaan. Kami aktif memberikan pembekalan maupun konsultasi terutama di bidang transformasi dan manajemen perubahan di 4 area yakni: Business Model (termasuk Balanced Scorecard dan Strategy Map)  – People Development  – Process – Culture Internalization, yang mengarah ke Auto Pilot System.

Nuqul Group (Yordania) dan Banpu (Thailand) adalah contoh perusahaan internasional yang telah menggunakan jasa konsultasinya. Di dalam negeri, Daniel menjadi konsultan bagi banyak perusahaan maupun institusi pemerintah. Di antaranya Jamsostek, Bea Cukai, Sekretariat DPR, Jasa Sarana BUMD Jabara, BioFarma Bandung, Kementerian Keuangan PUSINTEK, Pertamina, LPP BUMN di Jogja dan BTN.

Perusahaan swasta nasional sering menunjuk Daniel sebagai konsultan. Sebut saja Indocement, Triputra, Bosowa (Makasar), Tunas Ridean Group, MusimMas (Medan), Capella (Medan), CPSSoft, ILP, Darya Varia, KPUC (Samarinda), Medifarma, Prafa. Indospring (Surabaya) dan Acer (Jakarta) , Infomedia dan Sentul City. Beliau juga aktif memberikan pelatihan di Chevron, Astra, Commonwealth Bank, TOTAL EP, Holcim dan banyak lainnya

Di sisi lain, Daniel Saputro juga memiliki minat yang besar terhadap dunia pendidikan. Karena itu, kini, dia aktif menjadi fasilitator MiniMBA serta pengajar mata kuliah bisnis dan pemasaran di program S2. Daniel juga menggunakan tulisan sebagai sarana untuk membagikan ilmunya. Ia menjadi kontributor untuk Tabloid KONTAN, Swa, dan Jakarta Post.

Untuk Family Business, kami membantu suksesi dan transformasi menuju  perusahaan yang lebih professional. Dengan cara membentuk Leadership yang profesional dan menggunakan KPI  berbasis balanced Scorecard.

Value Consult

Value Consult

9684
× Ada yang bisa dibantu? Available from 06:00 to 23:00 Available on SundayMondayTuesdayWednesdayThursdayFridaySaturday