Sejarah memang penuh dengan perseteruan antar anggota keluarga. Tengok saja 5000 tahun yang lalu, sudah ada perang antar saudara di Kurukshetra, India. Pertempuran yang berlangsung selama 18 hari ini – dilatarbelakangi perebutan kekuasaan kerajaan – antara seratus putra Dretarastra (Korawa) dengan lima putra Pandu (Pandawa). Perseteruan ini mengakibatkan krisis di daratan India dan merupakan gerbang menuju zaman kehancuran (Kaliyuga).
Di Indonesia, banyak juga perang yang terjadi akibat perseteruan antar keluarga kerajaan. Ujungnya berakibat hancurnya kerajaan tersebut. Yang tragis adalah Kesultanan Banten. Kesultanan yang mampu bertahan hampir 3 abad, akhirnya luluh lantak karena perang ayah-anak di 1680. Antara Sultan Ageng dengan putranya sendiri, Sultan Haji. Akhirnya Sultan Ageng kalah, sehingga kesultanan Banten dikuasai oleh Sultan Haji. Parahnya, perseteruan ayah-anak ini meninggalkan ketidakstabilan pada pemerintahan berikutnya.
Di jaman modern, perang berdarah antar anggota keluarga memang jarang terjadi. Namun medannya berganti menjadi perang bisnis dan perang di pengadilan. Padahal orang bijak sejak dulu sudah memperingatkan, jangan pernah berbisnis dengan keluarga jika tak tahu caranya. Memisahkan antara kepentingan keluarga dan perusahaan konon sangat sulit dilakukan. Bisa saja sentimen pribadi ikut masuk dalam menjalankan perusahaan. Belum lagi, jika bisnisnya sudah tumbuh pesat dan keuntungan melangit. Unsur ketamakan dan egoisme mulai masuk…
Secara umum, perseteruan antar anggota keluarga dapat dibagi menjadi:
Pertama, perselisihan antar abang, adik dan saudara. Mulanya rukun damai, namun begitu perusahaan menjadi besar, bola mata juga semakin menjadi hijau. Sengketa mengenai warisan, kepemilikan saham, dan pengelolaan perusahaan menjadi makanan sehari-hari. Keserakahan merebak, dan ujungnya berakhir ke pengadilan atau pecah kongsi.
Ingin bukti? Lihat saja abang-adik pembuat sepatu ternama di Jerman. Awalnya di 1924, kakak-adik Adolf dan Rudolf Dassler bersatu padu mendirikan perusahaan sepatu di ruangan tempat cuci baju di rumah ibunya, kota Herzogenaurach, Jerman. Saat itu Adi (Adolf) Dassler membuat proyek kecil-kecilan dengan membuat sepatu olahraga yan menjadi cikal bakal Adidas sekarang.
Asal-usul perseteruan antara Rudolf dan Adi sulit untuk ditentukan. Konon serangan bom Sekutu ke Herzogenaurach 1943 adalah pemicunya. Saat Rudolf dan keluarganya ingin masuk ke tempat penampungan bom, sudah ada Adi dan istrinya. “Para bajingan kotor kembali lagi,” kata Adi, sebenarnya ditujukan pada pesawat Sekutu. Namun ditafsirkan Rudolf sebagai dia dan keluarganya. Sayangnya, kesalahpahaman komunikasi ini tidak pernah diperbaiki…Akhirnya pada 1948, kakak-beradik ini berseteru dan pecah kongsi. Rudolf Dassler mendirikan perusahaan Ruda, yang saat ini dikenal dengan merek Puma. Sementara Adolf, yang biasa disapa Adi, mematenkan merek Adidas di 1949.
Di Asia, perseteruan yang hampir sama juga terjadi pada Chairman Samsung Electronics yakni Lee Kun-Hee, orang terkaya di Korea Selatan. Saat ini Kun-Hee (70 tahun) tengah berjuang di pengadilan terkait warisan ayahnya senilai US$3,8 miliar, menghadapi abang tertuanya (Lee Maeng-Hee) dan saudara perempuannya (Lee Sook-Hee). Lee Maeng-hee bahkan menuntut adiknya mengembalikan sejumlah saham di beberapa unit usaha Samsung dengan uang tunai yang bernilai USD 623 miliar.
Bagaimana dengan Indonesia? Sebenarnya banyak cerita yang mirip-mirip. Di balik keperkasaan prestasi perusahaan Nyonya Meneer yang mencapai usia hampir 100 tahun, terdapat beberapa kisah perseteruan internal yang menjadi ciri khas perusahaan keluarga. Sepeninggal sang pendiri tahun 1978, perusahaan mulai menghadapi berbagai konflik panjang, terutama tahun 1984 hingga 2000. Charles Saerang, anak dari putra ke-2 Nyonya Meneer harus berjuang keras menghadapi sengketa yang melebar hingga soal urusan perebutan saham keluarga, bahkan berujung pada tuntutan ke meja hijau.
Kedua, perselisihan antara suami istri. Contohnya pada pasangan Suharti dan suami. Tahun 1962, Suharti bersama suami – Bambang Sachlan – berjualan ayam goreng dari rumah ke rumah. Karena digemari, akhirnya mereka membuka restoran pertama di tahun 1969. Lalu merek dagang Ayam Goreng Ny.Suharti didaftarkan oleh sang suami. Persoalan timbul ketika kemudian mereka berpisah rumahtangga karena masalah klasik. Perseteruan yang melibatkan harta ini berlangsung alot. Nama dagang Ny.Suharti oleh pengadilan dimenangkan dan menjadi milik sang suami. Maka sang nyonya tidak boleh menggunakan namanya sendiri (Ny.Suharti) sebagai merek dagang.
Ketiga, perselisihan antara ayah dan anak. Di India, sang putri, Priya Hiranandabis-Vandrevala mengajukan arbitrase kepada ayah dan saudaranya yang dianggap telah mencederai perjanjian proyek real estate. Sang ayah dan saudaranya melawan balik tuntutan putrinya. Sayangnya perseteruan ini membuat mereka kehilangan sejumlah peluang bisnis.
Keempat, perselisihan antara istri sang ayah dan anak-anaknya. Ini yang dihadapi Stanley Ho – arsitek penyulap Makau – dari koloni kecil Portugis di China menjadi surga judi dunia, yang menghadapi sengketa warisan. Sang istri sedang berebut harta dengan 17 anak dari 4 kali perkawinannya.
Tentunya ada beberapa cara mencegah agar perseteruan keluarga ini tidak berkelanjutan. Salah satunya adalah peranan sang ibu. Di India, dua bersaudara paling kaya, Mukesh Ambani dan Anil Ambani pernah “perang saudara” setelah kematian ayah mereka pada 2002. Pada kasus ini, sosok sang ibu memegan peranan penting. Nasehat ibu merekalah yang akhirnya bisa menciptakan gencatan senjata. Kakak beradik ini mengakhiri perseturuan pada 2010 dengan membentuk kesepakatan tidak tertulis atas konflik yang mereka bangun sendiri. Mukesh menjalan Reliance Industries, dan Anil memimpin Anil Dhirubhai Ambani Group.
Masalahnya adalah apa yang harus dilakukan jikalau ternyata sang ibu telah berpulang? Apa lagi yang dapat dilakukan agar bisnis keluarga bisa damai dan tanpa perseteruan?
Penulis :
Daniel Saputro, MM., MBA.
Senior Corporate Advisor
Daniel Saputro dan tim BusinessBuddy Int memiliki pengalaman 21 tahun dalam perbaikan kinerja perusahaan. Kami aktif memberikan pembekalan maupun konsultasi terutama di bidang transformasi dan manajemen perubahan di 4 area yakni: Business Model (termasuk Balanced Scorecard dan Strategy Map) – People Development – Process – Culture Internalization, yang mengarah ke Auto Pilot System.
Nuqul Group (Yordania) dan Banpu (Thailand) adalah contoh perusahaan internasional yang telah menggunakan jasa konsultasinya. Di dalam negeri, Daniel menjadi konsultan bagi banyak perusahaan maupun institusi pemerintah. Di antaranya Jamsostek, Bea Cukai, Sekretariat DPR, Jasa Sarana BUMD Jabara, BioFarma Bandung, Kementerian Keuangan PUSINTEK, Pertamina, LPP BUMN di Jogja dan BTN.
Perusahaan swasta nasional sering menunjuk Daniel sebagai konsultan. Sebut saja Indocement, Triputra, Bosowa (Makasar), Tunas Ridean Group, MusimMas (Medan), Capella (Medan), CPSSoft, ILP, Darya Varia, KPUC (Samarinda), Medifarma, Prafa. Indospring (Surabaya) dan Acer (Jakarta) , Infomedia dan Sentul City. Beliau juga aktif memberikan pelatihan di Chevron, Astra, Commonwealth Bank, TOTAL EP, Holcim dan banyak lainnya
Di sisi lain, Daniel Saputro juga memiliki minat yang besar terhadap dunia pendidikan. Karena itu, kini, dia aktif menjadi fasilitator MiniMBA serta pengajar mata kuliah bisnis dan pemasaran di program S2. Daniel juga menggunakan tulisan sebagai sarana untuk membagikan ilmunya. Ia menjadi kontributor untuk Tabloid KONTAN, Swa, dan Jakarta Post.
Untuk Family Business, kami membantu suksesi dan transformasi menuju perusahaan yang lebih professional. Dengan cara membentuk Leadership yang profesional dan menggunakan KPI berbasis balanced Scorecard.