Ada direktur besar yang menuding para karyawan tidak becus bekerja. “Kurang otaknya, tidak mampu berpikir cepat dan inovatif”, kata sang direktur. Lalu disuruhnya sang Manajer HRD untuk mengatasi hal ini.
Sang Manajer HRD segera mengirimkan para pegawai untuk ikut training. Selama pelatihan, muncullah ide-ide yang baru untuk peningkatan produktifitas. Tentunya setelah selesai training, maka karyawan diberikan kuiz untuk menguji pengetahuan apa yang sudah diserap selama pelatihan. Hasilnya? Semua lulus……Lalu feedback mengenai manfaat pelatihan juga bagus.
3 bulan kemudian setelah training, sang direktur terheran-heran. Koq tidak ada perubahan berarti ya? Semua masih sama seperti dulu. Produktifitas organisasi masih berjalan datar dan hampir tidak ada ide-ide baru yang muncul. Lalu pada kemana ide-ide yang keluar saat training? Koq pada menghilang? Para eks-peserta – saat ditemui – mengelak menjawab. Muka mereka kosong tanpa ekspresi. Hanya ada satu jawaban yang muncul. “Bapak kayak nggak tahu aja suasana kerja disini”, itu jawaban rata-rata dari eks peserta. Apa yang salah disini?
Apakah sang Direktur salah mengirimkan karyawannya untuk ikut training? Jawabannya TIDAK SALAH, namun BELUM CUKUP. Training memang HARUS dan BAGUS untuk membuka cakrawala berpikir. Akan timbul awareness dan skills yang pastinya akan membantu peserta dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Tanpa training, ibaratnya pegawai disuruh men-sekrup tanpa diberikan toolsnya yakni obeng. Walau bisa pakai tangan, namun waktunya pasti lama dan tangannya pasti lecet.
Namun training bukanlah solusi tunggal atas setiap permasalahan di kantor. Training memang merupakan sarana yang paling EFISIEN untuk meningkatkan kompetensi karyawan, namun belum tentu EFEKTIF mencapai tujuan organisasi. Efisien maksudnya adalah cara yang paling hemat biaya dan hemat waktu. Jadi bersifat instant. Sayangnya banyak direktur yang berhenti pada training saja. Padahal untuk mencapai tujuan yang diharapkan (baca: efektif) – seharusnya setelah training – setidak-tidaknya diperlukan 4 faktor lain.
Kali ini yang dibahas adalah faktor: pendampingan berkelanjutan. Karena hakekatnya manusia akan lupa kalau tidak di-ingatkan terus menerus. Disini organisasi bisa memilih pendampingan dalam bentuk Coaching atau Co-Piloting atau juga Consulting.
Coaching. Memang pilihan yang cocok dan relatif murah investasinya untuk mengingatkan dan memotivasi peserta. Ya, Coaching memang awalnya berasal dari kegiatan sport. Jadi unsur motivasi (bukannya solusi) sangat diagungkan dalam coaching. Bertujuan untuk membuka potensi diri dan menemukan jawaban masalah secara mandiri, tanpa si coach harus ikut-ikutan bermain.
Dalam prakteknya – jika menggunakan coach external – sang coach hanya sekali-dua kali mengunjungi peserta. Jadi tarif menyewa coach external jadi lebih terjangkau. Rata-rata sekitar Rp 15 juta per bulan untuk menyambangi sang coach 2-4 kali. Selebihnya peserta yang harus datang, sehingga seringkali business process yang terjadi di lokasi, tidak terpantau dengan benar. Karenanya solusinya pun hanya temporer atau bahkan bisa ngaco. Di awal saja berjalan, namun setelah setahun baru ketahuan ada yang tidak beres. Namun tidak terpantau karena hanya dilihat oleh mata peserta yang miskin pengalaman.
Peserta juga harus rajin membaca dan ambil kesimpulan secara mandiri. Terlihat coaching memang cocok untuk yang berjiwa muda, tetapi rada sulit diterapkan pada founding father atau level direktur yang sudah tidak mau repot lagi. Pada level ini, founding father dan direktur butuh solusi yang cepat dan teruji. Bukan lagi belajar dari buku text-book atau dari kisah sukses perusahaan asing (yang bukan dari Indonesia).
Memang Indonesia ini unik. Kalau buku text-book Barat ada 4P di Marketing yakni: Product – Promotion – Place – Price, maka di Indonesia ada 5P. Tambahannya yakni Power – dijauhi di bisnis negara Barat – namun sangat penting di Indonesia. Karenanya banyak pebisnis yang akhirnya terjun ke dunia politik untuk mendapatkan Power ini.
Kala Kenichi Ohmae bergeming pada 3C yakni Company – Customer – Competitor, maka di Indonesia harus ada tambahan 2 C lain yakni: Connections (ada kenalan) dan Coercive Groups (grup penekan, seperti kelompok yang sanggup membatalkan konser Lady Gaga di Indonesia).
Consulting. Di sisi lain, founding father dan dewan direksi bisa juga menyewa konsultan bisnis. Memang tarifnya bervariasi, mulai dari yang paling mahal (Rp 150 juta per hari atau lebih ) sampai yang paling murah (sekitar Rp 100 juta per bulan). Mengapa mahal? Karena harus menaruh orangnya yang bergelar MBA – yang tidak mau dibayar murah tentunya – secara permanen agar dapat secara langsung mengamati business process yang terjadi di organisasi tersebut. Walau mahal, banyak yang rela menggelontorkan investasi menyewa konsultan ini. Sebut saja grup SOHO – Garuda Food – dan lainnya yang bersedia mengeluarkan milyaran rupiah. Bagaimana kalau dana perusahaan pas-pasan?
CoPiloting. Beberapa organisasi menemukan jalan tengah dengan menyewa jasa CoPiloting. Mengapa disebut demikian? Karena Pilotnya adalah orang dalam (team) yang akan dididik menjadi internal consultant. Bisa dari OPI (Organization Performance Improvement), bisa juga dari SMO (Strategy Management Office). Atau bisa juga dari Corporate Planning.
Intinya team ini jangan terlibat langsung dengan kegiatan operasional, namun harus bertanggung jawab akan hal-hal strategic. Jadi external konsultan akan jadi mentor – yang tetap langsung observasi dan copiloting – dengan datang ke lokasi (biasanya 2 kali per bulan). Tentunya investasi jadi lebih murah dibanding konsulting. Ada juga tambahan positifnya. Saat kontrak dengan external konsultan selesai, organisasi sudah siap lepas landas dan mandiri . Jadi tidak bergantung terus menerus dengan external konsultan, sehingga tidak ada hidden costs.
Mana yang akan dipilih bergantung dengan dana, skala organisasi dan goal yang dikejar. Mau yang efisien atau efektif? Atau kedua-duanya? Apa 3 faktor lainnya? Akan dijabarkan dalam tulisan berikutnya.
Penulis :
Daniel Saputro, MM., MBA.
Senior Corporate Advisor
Daniel Saputro dan tim BusinessBuddy Int memiliki pengalaman 21 tahun dalam perbaikan kinerja perusahaan. Kami aktif memberikan pembekalan maupun konsultasi terutama di bidang transformasi dan manajemen perubahan di 4 area yakni: Business Model (termasuk Balanced Scorecard dan Strategy Map) – People Development – Process – Culture Internalization, yang mengarah ke Auto Pilot System.
Nuqul Group (Yordania) dan Banpu (Thailand) adalah contoh perusahaan internasional yang telah menggunakan jasa konsultasinya. Di dalam negeri, Daniel menjadi konsultan bagi banyak perusahaan maupun institusi pemerintah. Di antaranya Jamsostek, Bea Cukai, Sekretariat DPR, Jasa Sarana BUMD Jabara, BioFarma Bandung, Kementerian Keuangan PUSINTEK, Pertamina, LPP BUMN di Jogja dan BTN.
Perusahaan swasta nasional sering menunjuk Daniel sebagai konsultan. Sebut saja Indocement, Triputra, Bosowa (Makasar), Tunas Ridean Group, MusimMas (Medan), Capella (Medan), CPSSoft, ILP, Darya Varia, KPUC (Samarinda), Medifarma, Prafa. Indospring (Surabaya) dan Acer (Jakarta) , Infomedia dan Sentul City. Beliau juga aktif memberikan pelatihan di Chevron, Astra, Commonwealth Bank, TOTAL EP, Holcim dan banyak lainnya
Di sisi lain, Daniel Saputro juga memiliki minat yang besar terhadap dunia pendidikan. Karena itu, kini, dia aktif menjadi fasilitator MiniMBA serta pengajar mata kuliah bisnis dan pemasaran di program S2. Daniel juga menggunakan tulisan sebagai sarana untuk membagikan ilmunya. Ia menjadi kontributor untuk Tabloid KONTAN, Swa, dan Jakarta Post.
Untuk Family Business, kami membantu suksesi dan transformasi menuju perusahaan yang lebih professional. Dengan cara membentuk Leadership yang profesional dan menggunakan KPI berbasis balanced Scorecard.