Kisah ini diambil dari pengalaman kami menangani bisnis keluarga di bumi Kalimantan (disamarkan untk pembelajaran). Ada keluarga yang berbisnis batubara. Tentunya sukses besar. Sang anak – yang 4 tahun lalu dikirim ke UK untuk belajar bisnis – akhirnya kembali ke Indonesia (baca: kembali melanjutkan bisnis keluarga). Pastinya dengan membawa segudang ilmu manajemen yang mumpuni. Dengan motivasi menyala si pewaris tahta ini ingin segera menerapkan konsep-konsep teranyar yang dipelajarinya selama ngendon di bangku kuliah. Harapannya juga besar bahwa keluarga besarnya akan mendukung gagasannya untuk memodernisasi perusahaan. “Toh inilah alasan utama mengapa saya dikirim ke luar negeri,” pikirnya memotivasi diri.
Di benaknya saat diwisuda di kampus London sebagai 10 besar murid terbaik adalah: kembali dan mulai memodernisasi perusahaan jadul keluarga. Mimpinya besar yakni membawa bisnis keluarga ke “level yang lebih tinggi’. Rupanya ia sangat terinspirasi oleh gebrakan pak Sandiago Uno dan pebisnis besar lainnya yang walau masih muda tetapi sudah sukses. Terbayang di pelupuk matanya, langkah-langkah yang akan ia lakukan segera setelah mendarat kembali di Indonesia. Mulai dari menerapkan konsep-konsep anyar seperti Manajemen Modern, Strategic Planning, juga membuat struktur organisasi yang lebih professional. Sampai membuat SOP dan KPI yang jelas agar tercipta Autopilot Business.
Setelah semua berjalan bagus, ia bermimpi untuk merubah WBAWI (what business are we in) – yang semula in Coal Mining Business – menjadi Investment Company. Di otaknya sudah tercetak jelas Road Map organisasi dalam 5 sampai 10 tahun mendatang. Juga strategy map dengan 4 perspective untuk mencapainya.
Ia juga mulai mencoba berinovasi – mencoret sketsa di kertas – untuk menggabungkan Balanced Scorecard dengan Performance Prism yang dipelajarinya di UK. Tentunya – diawal – ia yakin benar bahwa keluarga besarnya akan mendukung gebrakannya dengan sepenuh hati. “Pasti ayah saya akan bangga dengan terobosan baru yang akan saya terapkan” pikirnya mantap.
Sang anak mulai terkejut ketika menyadari bahwa ide-ide yang ia lontarkan hanya mendapatkan tanggapan ringan dari ayahnya. Ide awal untuk merenovasi kantor agar tampak lebih representative, ternyata hanya mendapatkan jawaban “Ya, bagus. Nanti kita pikirkan” dari sang ayah. Ide menjalankan system KPI dan Scorecard dijawab dengan kalimat tegas namun menjatuhkan semangat sang anak: “Buat apa yang yang aneh-aneh. Toh begini saja kamu sudah bisa sekolah ke luar negeri”.
Awalnya memang sang anak sempat galau juga. Namun tekad dan semangat pantang menyerah warisan sang ibu ternyata masih membara. Sang anak berjuang terus meyakinkan ide-idenya. Setelah berbulan-bulan mencoba meyakinkan sang ayah, akhirnya sang ayah mulai luruh juga. Beberapa idenya mulai ‘disetujui”. Artinya boleh dilaksanakan – namun kalau soal dana – itu lain lagi urusannya.
Ya, ini belum selesai lho. Karena walau disetujui oleh sang ayah, kas keuangan dipegang oleh sang “aunty” (adik dari sang ayah). Cara berpikirnya juga bertolak belakang dengan sang anak yang ingin berinvestasi untuk tumbuh. Sang aunty lebih ke arah penghematan biaya. Ini jawaban dari sang Aunty: “ Lha, ini khan biayanya besar. Buat apa dikerjakan. Toh buyer dari dulu juga datang terus. Sudahlah, jangan hanya bisa menghamburkan uang. Hemat …hemat. Anak jaman sekarang tidak tahu susahnya cari uang. Bisanya hanya foya-foya. Coba-coba yang tak jelas juntrungannya” kata sang aunty dengan “bijaksana”. Maka terdiamlah sang anak dengan wajah pucat pasi. Mana mungkin melawan kalimat bijaksana dari yang lebih tua. Bisa kualat ntar. Wah susah ya ternyata “mentransformasi” bisnis keluarga.
Apa yang pembaca rasakan? Tentunya kejadian diatas pernah terdengar oleh anda. Apa hal diatas perlu dikoreksi atau tetap dibiarkan saja? Toh tanpa transformasipun, bisnis keluarga ini memang berjalan mulus.
Dahulu, saat usaha masih kecil dan founder masih bisa bertemu dan berinteraksi langsung sampai ke pegawai yang paling bawah, maka cara-cara tradisional memang masih tetap OK. Pemikiran sang founder masih akan tetap sampai ke level operasional.
Sayangnya gaya ini masih dipertahankan terus saat perusahaan sudah mulai menggurita. Dengan banyaknya layer-layer yang terbentuk, maka pemikiran dan komunikasi antar founder dengan operasional semakin tidak intens. Seringkali terjadi salah komunikasi. Lagipula semakin tua seseorang maka semangat perubahannya mulai menyusut dan mulai mencari zona aman. Sebaliknya generasi muda dengan semangat menyala, ingin sekali mengadakan semangat pembaharuan.
Solusi terbaik untuk mengatasi hal ini adalah dengan:
Pertama, mengundang pihak ketiga – yang dihormati oleh founder – untuk berbicara hati ke hati mengenai Succesion Plan yang baik. Toh umur tak dapat dicegah makin menua. Jadi cepat atau lambat, peralihan generasi akan terjadi. Lebih baik direncanakan dulu daripada mendadak founder harus menghadap penciptanya. Biasanya organisasi langsung kacau. Dalam beberapa kasus malah langsung kolaps.
Kedua, memberikan kesempatan kepada generasi penerus melanjutkan usaha dengan cara bertahap.Posisikan saja anak anda di bagian Corporate Planning yang terletak di leher struktur organisasi. Jadi sang anak bisa belajar berbisnis sambil mendalami wisdom dari generasi senior. Perlahan berikan tanggung jawab yang lebih besar. Misalnya di tahun pertama, sang anak berhak membuat keputusan senilai 100 juta, di tahun kedua 500 juta dan seterusnya. Jadi dilepas pelan-pelan agar jangan langsung terjun bebas.
Ketiga, Profesional bisa dipilih jika 2 pilihan diatas sudah dicoba dan tidak berhasil. Beberapa founding father lebih memilih professional yang berlatar belakang perbankan karena dianggap lebih mengetahui banyak bisnis, sanggup mengelola resiko, relasi luas dan lebih prudent. Integitasnya juga tak diragukan. Namun sang profesionalpun bisa frustasi jikalau tidak ada pembagian yang jelas antara fungsi dan peran BOD dan BOC. Apalagi jikalau ada family member yang masuk di level manager, tetapi juga terdaftar di BOC. Bakal pusing si professional….
Karenanya perlu konsensus antar anggota keluarga, komitmen dalam jangka panjang dan bersedia mengeluarkan investasi untuk mempersiapkan system….
Penulis :
Daniel Saputro, MM., MBA.
Senior Corporate Advisor
Daniel Saputro dan tim BusinessBuddy Int memiliki pengalaman 21 tahun dalam perbaikan kinerja perusahaan. Kami aktif memberikan pembekalan maupun konsultasi terutama di bidang transformasi dan manajemen perubahan di 4 area yakni: Business Model (termasuk Balanced Scorecard dan Strategy Map) – People Development – Process – Culture Internalization, yang mengarah ke Auto Pilot System.
Nuqul Group (Yordania) dan Banpu (Thailand) adalah contoh perusahaan internasional yang telah menggunakan jasa konsultasinya. Di dalam negeri, Daniel menjadi konsultan bagi banyak perusahaan maupun institusi pemerintah. Di antaranya Jamsostek, Bea Cukai, Sekretariat DPR, Jasa Sarana BUMD Jabara, BioFarma Bandung, Kementerian Keuangan PUSINTEK, Pertamina, LPP BUMN di Jogja dan BTN.
Perusahaan swasta nasional sering menunjuk Daniel sebagai konsultan. Sebut saja Indocement, Triputra, Bosowa (Makasar), Tunas Ridean Group, MusimMas (Medan), Capella (Medan), CPSSoft, ILP, Darya Varia, KPUC (Samarinda), Medifarma, Prafa. Indospring (Surabaya) dan Acer (Jakarta) , Infomedia dan Sentul City. Beliau juga aktif memberikan pelatihan di Chevron, Astra, Commonwealth Bank, TOTAL EP, Holcim dan banyak lainnya
Di sisi lain, Daniel Saputro juga memiliki minat yang besar terhadap dunia pendidikan. Karena itu, kini, dia aktif menjadi fasilitator MiniMBA serta pengajar mata kuliah bisnis dan pemasaran di program S2. Daniel juga menggunakan tulisan sebagai sarana untuk membagikan ilmunya. Ia menjadi kontributor untuk Tabloid KONTAN, Swa, dan Jakarta Post.
Untuk Family Business, kami membantu suksesi dan transformasi menuju perusahaan yang lebih professional. Dengan cara membentuk Leadership yang profesional dan menggunakan KPI berbasis balanced Scorecard.